
Yogyakarta, 7 Juli 2025 — Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) Fakultas Psikologi UGM kembali menggelar seri diskusi “Angkringan” yang ke-24 sebagai bagian dari rangkaian Pre-Summer Course Event. Diskusi kali ini mengangkat tema “Resiliensi Kolektif Masyarakat Terdampak Bencana Iklim” yang dibawakan oleh Dr. Moh. Abdul Hakim dari Universitas Sebelas Maret, dengan Faiqal Dima Hanif, Asisten Peneliti CICP, sebagai moderator.
Dalam pemaparannya, Dr. Abdul Hakim menekankan bahwa kenaikan permukaan laut bukan lagi ancaman abstrak, melainkan kenyataan yang telah dirasakan langsung oleh masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Salah satu contohnya adalah kota Pekalongan yang disebut memiliki tingkat penurunan tanah tercepat di dunia, menjadikannya salah satu dari 112 kabupaten/kota yang berada dalam risiko tinggi terdampak bencana iklim.
Dari perspektif psikologi budaya, Dr. Hakim menjelaskan bahwa resiliensi komunitas bukan hanya soal kesiapan infrastruktur, tetapi juga proses budaya yang terwujud melalui interaksi antara nilai, keyakinan, dan pola relasi sosial masyarakat. Masyarakat yang resilien umumnya memiliki karakteristik seperti kolektivisme yang tinggi, keterikatan sosial yang erat, sense of community, serta praktik keagamaan dan identitas komunitas berbasis nilai-nilai lokal.
“Komunitas yang kuat cenderung memiliki hubungan kekeluargaan yang erat, tinggal berdekatan, dan mampu merespons bencana secara gotong royong,” jelas Dr. Hakim berdasarkan studi kasus yang dilakukan di dua desa di Pemalang.
Musyawarah desa menjadi contoh mekanisme pengambilan keputusan kolektif yang memperkuat resiliensi sosial. Selain itu, tingkat relational mobility—atau kemampuan individu untuk membangun dan menjaga relasi sosial yang fleksibel—juga menjadi aspek penting dalam kemampuan bertahan komunitas.
Diskusi ini menegaskan bahwa resiliensi terhadap perubahan iklim tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya lokal, serta pentingnya memahami psikologi masyarakat sebagai bagian dari strategi mitigasi bencana.
Acara yang berlangsung secara daring melalui Zoom ini terbuka untuk umum dan menjadi wadah dialog interdisipliner yang mempertemukan akademisi, peneliti, dan masyarakat umum yang peduli pada isu-isu lingkungan dan budaya.