
Rabu (16/7), telah dilaksanakan rangkaian perkuliahan pertama International Summer Course CICP 2025. Topik yang dibahas dalam perkuliahan ini adalah “Dynamic Nature of Psychological Phenomena: Where Cultural Psychology Solves the Main Problem of General Psychology”. Perkuliahan ini menghadirkan Prof. Jaan Valsiner (Aalborg University) and Assoc. Prof. Giuseppina Marsico (the University of Salerno) sebagai narasumber. Valsiner dan Marsico menyoroti kekeliruan mendasar dalam tradisi psikologi umum yang cenderung mengabaikan peran sentral semiosis, yakni proses penciptaan dan pemaknaan pengalaman.
Marsico menyebutkan bahwa selama abad ke-20, psikologi umum mengalami kegagalan besar dalam memahami dan menempatkan proses penciptaan makna sebagai fokus utama. Aspek penting dari kehidupan mental manusia ini justru diabaikan. Psikologi umum seolah melepaskan tanggung jawab untuk menjelaskan proses tersebut, padahal itu merupakan bagian fundamental dari pengalaman manusia. Oleh sebab itu, ia menyatakan sebuah kritik serius terhadap posisi historis dalam disiplin psikologi, yakni bahwa psikologi selama ini secara mendasar telah gagal mempertimbangkan semiosis sebagai salah satu proses inti dalam jiwa manusia.
Valsiner dan Marsico menekankan bahwa inti dari kehidupan psikis manusia terletak pada kemampuan untuk terus-menerus memberi makna atas diri dan lingkungan. Psikologi budaya, dalam hal ini, menawarkan kerangka teoretis yang lebih relevan untuk memahami dimensi ini secara mendalam. Dalam perspektif psikologi budaya, budaya bukanlah entitas statis yang diwariskan antar generasi, melainkan suatu proses dinamis yang senantiasa direkonstruksi melalui hubungan antara individu dan lingkungan sosialnya. Valsiner berbagi pandangannya terkait hal tersebut dengan menjelaskan pentingnya untuk memahami bagaimana dua arah waktu—masa lalu dan masa depan—serta dua dimensi pengalaman—dunia batin dan dunia luar—berperan dalam hidup kita dalam sebuah skema. Gagasan tentang ‘infinity’ yang merupakan konsep berasal dari pemikiran William Stern dalam sejarah psikologi. Stern menekankan pentingnya individu, namun di sini saya menambahkan bahwa kehidupan seseorang selalu terhubung secara langsung dengan masa lalu dan masa depan. Karena itu, dalam psikologi budaya, yang kita pelajari dan diskusikan adalah bagaimana kita bisa mengoordinasikan refleksi ke dalam diri sendiri, sekaligus memahami hubungan kita dengan waktu.
Valsiner melanjutkan bahwa gagasan utama dalam psikologi budaya versi saya disebut dinamika semiotik. Ini sebenarnya konsep yang sederhana, namun sering kali tidak mudah dipahami. Intinya adalah bahwa seluruh hidup kita dibentuk dan diatur oleh tanda-tanda (signs) yang kita ciptakan sendiri. Tanda-tanda ini membantu kita memahami dan memberi makna pada apa yang kita rasakan setiap hari. Misalnya, ketika seseorang mengatakan “Saya merasa bahagia saat ini,” maka kata “bahagia” itu adalah tanda yang menjelaskan pengalaman kita di saat ini. Budaya dibentuk melalui interaksi dua arah antara individu dan lingkungan sosialnya. Proses ini melibatkan internalisasi dan eksternalisasi tanda, serta koordinasi antar agen sosial sehingga setiap individu menjadi bagian aktif dari penciptaan budaya.
Selain itu, budaya juga dipahami sebagai proses mediasi tanda yang berada di antara dimensi internal (I dan ME) dan eksternal (ME dan YOU). Dalam ketegangan antara makna pribadi dan makna sosial, terbentuklah dinamika yang memicu perkembangan psikologis. Dengan demikian, tidak ada pemisahan mutlak antara individu dan masyarakat, tetapi ada hubungan dialogis yang terus berkembang.
Penutup dari kuliah ini menekankan bahwa budaya tidak bisa ada tanpa manusia yang menciptakannya. Oleh karena itu, pendekatan psikologi budaya berusaha memahami manusia sebagai makhluk yang aktif, reflektif, dan bermakna. Ini menawarkan jalan keluar dari pendekatan psikologi tradisional yang terlalu mekanistik dan kurang memahami kompleksitas realitas manusia.