Permendikbud RI No. 22 tahun 2016 mendorong agar siswa mampu untuk menghasilkan karya yang berbasis pemecahan masalah, kemudian hal ini diperkuat dengan rancangan kebijakan dari Mendikbud RI 2019 mendorong kemerdekaan pihak sekolah untuk mengoptimalkan potensi yang ada. Dengan begitu, diprediksi di masa mendatang setiap sekolah akan cenderung optimal pada bidang tertentu sehingga untuk memperoleh karya yang bersifat solutif dan terintegratif dibutuhkan kemampuan kolaborasi. Kolaborasi antar siswa yang berasal dari sekolah berbeda merupakan kegiatan yang masih belum lazim ditemui di Indonesia. Mayoritas kegiatan yang mempertemukan sekolah berbeda cenderung berorientasi pada kompetisi. Padahal, kegiatan yang bersifat kolaboratif juga perlu untuk diinisiasi. Elemen yang mendukung tercapainya kolaborasi adalah adanya rasa percaya antar individu yang terlibat (Mitchell, Ripley, Adams, & Raju, 2011), sedangkan untuk meningkatkan rasa percaya tersebut terdapat tiga faktor yakni faktor situasional, internal, dan kualitas orang asing (CICP UGM).
Dukungan emosional yang tidak maksimal kepada anak sering kali berdampak pada menurunnya prestasi akademik maupun non-akademik. Penelitian yang dilakukan Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada menemukan bahwa dukungan emosional merupakan bentuk dukungan tertinggi bagi siswa, baik terhadap prestasi akademik (70%) maupun non-akademik (60,9%), dengan sumber dukungan tertinggi dari orang tua, baik akademik (82,8%) maupun non-akademik (65,2%). Selain temuan tersebut, policy brief ini juga menjelaskan berbagai bentuk dukungan maupun pihak pendukung, serta pentingnya parent meeting yang melibatkan wali siswa dan sekolah untuk memenuhi kebutuhan emosional siswa
Hubungan emosional (asih) dan karakter yang baik (asah) rupanya menjadi faktor utama kepercayaan anak terhadap orang tua. Temuan tersebut mendukung pentingnya sosialisasi penerapan asih, asah, dan asuh di dalam keluarga untuk mencapai kesejahteraan keluarga.
Fenomena terkait ketidaksesuaian pilihan karir pemuda dengan jurusan yang dipilih semasa kuliah menimbulkan pertanyaan tentang gambaran aspirasi pelajar Indonesia. Pelajar, baik dengan latar belakang keluarga status sosioekonomi rendah maupun menengah, memiliki aspirasi di bidang keterampilan profesional (vokasional), dan tidak tertarik dengan bidang kewirausahaan. Alasan aspirasi tersebut terkait dengan pemenuhan diri, baik oleh pelajar dengan latar belakang sosioekonomi keluarga rendah (29,44%) maupun sosioekonomi keluarga menengah (29,03%). Alasan finansial justru bukan menjadi alasan yaitu hanya sebesar 3,23% pada kedua kelompok. Walau demikian, keluarga tetaplah merupakan sumber dukungan utama terhadap aspirasi pelajar. Oleh karena itu, pembentukan panduan dan program yang melibatkan orangtua perlu dipertimbangkan dalam suatu rekomendasi kebijakan.