Jum’at (29/11) lalu, Pusat Studi Psikologi Indijinus dan Budaya (CICP) telah menyelenggarakan Angkringan kelima belas berkolaborasi dengan prodi S1 Psikologi pada mata kuliah Psikologi Kebencanaan dan Krisis. Intervensi Psikososial Pengungsi Rohingya di Aceh dan Temuan Awal riset Kohesi Sosial adalah tema yang disajikan pada angkringan di penghujung November tersebut. Dilaksanakan secara daring, Angkringan CICP kali ini mengundang dua tamu spesial, yaitu Bang Al Fadhil (Direktur Yayasan Geutanyoe, Aceh) dan Kak Duma Hardiana Manurung (Asisten Peneliti CICP). Sesi Angkringan ini diawali dengan sambutan Direktur CICP, Ibu Pradytia Putri Pertiwi, Ph.D. Kemudian dilanjutkan oleh Mbak Fadhilah Sofiyana sebagai moderator sesi penyampaian materi dan diskusi. Angkringan dihadiri oleh Mahasiswa S1 Universitas Gadjah Mada, Anggota CICP, Tim Yayasan Geutanyoe dan peserta lainnya yang tertarik mengenai isu Pengungsi Rohingya.
Presentasi materi pertama disampaikan oleh Bang Fadhil. Beliau memperkenalkan Yayasan Geutanyoe, berpusat di Banda Aceh, merupakan organisasi nirlaba yang bergerak di bidang kemanusiaan yang bertujuan untuk menumbuhkan dan menegakkan kesetaraan, keadilan, hak asasi manusia, dan kesejahteraan kelompok rentan di Asia Tenggara. Bang Fadhil menyampaikan bahwa pengungsi Rohingya menjadi salah satu fokus Yayasan Geutanyoe dalam mempromosikan perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan. Bang Fadil menggambarkan bahwa beberapa waktu lalu, banyak sekali berita hoaks yang mendiskreditkan pengungsi Rohingya di Aceh. Informasi yang masih simpang siur tersebut menciptakan kecurigaan dan penolakan masyarakat Indonesia khususnya Aceh, yang menjadi tantangan dalam pemulihan psikologis pengungsi. Padahal, pengungsi Rohingya memilih Aceh sebagai tempat sementara untuk bermukim karena merasa adanya ikatan persaudaraan karena memiliki agama yang sama (Islam). “Kami datang kesini bukan untuk mencari makanan bergizi, tapi untuk mencari kebebasan dan mendapatkan pendidikan. Kami merasa banyak penjahat di negara kami. Bahkan kami tidak dapat tidur dengan damai di malam hari,” ujar salah satu pemuda Rohingya pada Tim Yayasan Geutanyoe yang ditayangkan melalui video dokumenter.
Yayasan Geutanyoe melakukan banyak upaya untuk memperjuangkan hak pengungsi Rohingya, salah satunya dengan membuka ruang untuk interaksi antara masyarakat lokal dengan pengungsi sehingga dapat meminimalisir prasangka. “Dukungan pemulihan pada pengungsi yang melibatkan masyarakat Aceh dilakukan dengan kegiatan religius seperti pengajian bersama masyarakat. Hal tersebut dapat meningkatkan rasa kesamaan dalam karakteristik Agama,” ujar Bang Fadhil. Sebagai penutup dari Bang Fadhil, beliau menekankan bahwa tidak ada siapapun yang ingin mengungsi dari tempat tinggalnya dan mengajak seluruh peserta untuk berefleksi sebagai individu yang memiliki perasaan dan nilai kemanusiaaan. “Mengungsi bukan pilihan tapi keterpaksaan, kalau tidak nyawanya akan terancam. Pengungsi adalah korban dari kekejaman. Membantu pengungsi seharusnya tidak dibatasi oleh etnis apapun. Untuk mendukung kebenaran kita perlu menjunjung tinggi hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan,” tambah Bang Fadhil.
Presentasi kedua dilanjutkan oleh Kak Duma Hardiana Manurung, salah satu asisten peneliti CICP. Kak Duma menjadi salah satu asisten peneliti yang melakukan studi pendahuluan pada pertengahan November lalu di Aceh. Penelitian tersebut diketuai oleh Ibu Pradytia Putri Pertiwi, Ph.D. dengan judul Vulnerability and Social Cohesion in Shared Spaces: A Cross-Country Analysis of Forcibly Displaced Rohingyas in Bangladesh and Indonesia. Kak Duma mengawali presentasinya dengan memperkenalkan penelitian yang saat ini sedang dilakukan oleh CICP di Aceh. Penelitian yang merupakan Kolaborasi Riset Internasional melalui flagship UGM Ketangguhan Sosial Budaya Masyarakat ini bekerjasama dengan International Law for Peace and Conflict (IFHV), Ruhr-University Bochum Germany dan berfokus pada isu pengungsi Rohingya di Indonesia dan Bangladesh. Selama melakukan studi pendahuluan, tim peneliti berinteraksi dengan pengungsi Rohingya ditengahi oleh translator yang mampu berbahasa Inggris dan Rohingya.
Konflik yang terjadi memungkinkan adanya kolektif trauma pada pengungsi sehingga perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan potensi positif dalam menjamin kehidupan berkelanjutan. Temuan awal penelitian menunjukkan adanya beberapa tema yang dapat menjadi fokus penelitian, dua diantaranya adalah kerentanan dan kohesi sosial. Pertama, Kerentanan, adanya perbedaan pada beberapa wilayah di Aceh dalam menerima ataupun menolak pengungsi Rohingya. Dengan demikian, pengungsi Rohingya rentan karena selain krisis identitas, juga dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan sosial dan lingkungan fisik tempat mereka mengungsi. Kedua, Kohesi sosial, lingkungan yang mendukung dapat mengembangkan interaksi dan membangun kepercayaan satu sama lain sehingga memunculkan adanya penerimaan terhadap pengungsi. Hal tersebut dapat membantu intervensi psikologis terhadap kecenderungan trauma jangka panjang yang berkemungkinan dapat diwarisi dari generasi ke generasi pada pengungsi.