
Kamis (17/07), Dr. Rogelia Pe-Pua (University of New South Wales) menjadi narasumber di summer course CICP 2025. Dalam presentasinya yang berjudul “Tracing the Trajectory of Indigenous Psychology: A Reflective Dialogue on Knowledge, Method, and Identity”, Dr. Pe-Pua menyoroti kontribusi penting Sikolohiyang Pilipino atau Psikologi Filipina dalam membangun fondasi psikologi yang kontekstual dan berbasis budaya. Ia menegaskan bahwa pendekatan psikologi yang relevan harus berakar pada pengalaman hidup, nilai-nilai, dan cara berpikir masyarakat lokal—bukan sekadar menerapkan teori Barat secara universal.
‘Sikolohiyang Pilipino’, sebagaimana dirintis oleh Virgilio Enriquez, menawarkan paradigma baru dengan memperkenalkan konsep kunci seperti kapwa (identitas bersama) dan loob (batin/kehendak), serta redefinisi psikologi sebagai studi atas kesadaran, pengalaman emosional, dan kebijaksanaan lokal. Gerakan ini tidak bersifat eksklusif, namun menekankan pentingnya indigenization dari dalam, melalui pembangunan teori dan metode yang bersumber dari konteks budaya masyarakat Filipina.
‘Sikolohiyang Pilipino’ didefinisikan sebagai suatu bentuk psikologi yang tumbuh dari pengalaman, cara berpikir, dan orientasi kultural masyarakat Filipina (Pe-Pua & Protacio-Marcelino, 2000). Pendekatan ini mereformulasi konsep dasar psikologi dengan menekankan aspek-aspek batiniah dan sosial khas budaya Filipina, seperti kalooban dan kamalayan (perasaan dan pengetahuan yang dialami), ulirat (kesadaran terhadap lingkungan sekitar), isip (informasi dan pemahaman), diwa (kebiasaan dan perilaku), serta kaluluwa (jiwa), sebagai kerangka untuk memahami kesadaran dan nurani manusia.
Dalam kerangka teoritisnya, terdapat empat aliran utama yang membentuk landasan ‘Sikolohiyang Pilipino‘. Pertama adalah psikologi akademik-ilmiah, yang berakar pada tradisi psikologi modern berbasis penelitian empiris. Kedua, psikologi akademik-filosofis, yang dikembangkan melalui pemikiran filosofis Barat, khususnya dalam konteks institusi keagamaan seperti yang dijumpai di lembaga pendidikan Katolik. Ketiga, psikologi etnis, yang menjadi pijakan utama dalam menyatukan tradisi akademik-ilmiah dan filosofis ke dalam satu kerangka nasional yang merefleksikan disiplin psikologi dan filsafat sebagai ilmu universal. Keempat, sistem psiko-medis yang mengintegrasikan dimensi spiritual dan keagamaan sebagai elemen penting dalam menjelaskan gejala psikologis dan praktik penyembuhan. Pendekatan ini tidak hanya mencerminkan karakteristik budaya setempat, tetapi juga membuka ruang bagi integrasi lintas-disiplin yang memperkaya pemahaman terhadap manusia dalam konteks budaya yang kompleks.
Pe-Pua juga menguraikan metode penelitian khas yang dikembangkan dalam kerangka ini, seperti pagtatanong-tanong, pakikipagkuwentuhan, dan panunuluyan, yang menempatkan relasi peneliti dan partisipan secara setara. Metodologi ini memungkinkan pemahaman mendalam terhadap dinamika sosial melalui pendekatan naratif, partisipatif, dan reflektif. Lebih lanjut, ia menyoroti dampak signifikan gerakan ini dalam bidang pendidikan dan praktik psikologi, termasuk penggunaan bahasa lokal dalam pengajaran dan penulisan ilmiah. Hal ini menandai langkah penting dalam dekolonisasi pengetahuan serta penguatan kedaulatan budaya dalam disiplin akademik.
Sebagai penutup, Pe-Pua mendorong komunitas ilmiah untuk membangun psikologi global yang bersifat inklusif dan pluralistik, melalui kerja sama lintas-budaya dan pengakuan terhadap sistem pengetahuan lokal sebagai bagian dari pengembangan teori psikologi yang lebih representatif dan relevan secara sosial