Pada Jumat (30/8), Pusat Studi Psikologi Indijinus dan Budaya (CICP) kembali menggelar acara Angkringan CICP, yang kali ini merupakan sesi kesebelas dengan tema “Narasi Kecantikan Nusantara sebagai Gerakan Feminisme Poskolonial”. Acara ini dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom dari pukul 15.30 hingga 17.00, dihadiri oleh pegiat ilmu yang menunjukkan minat besar pada topik psikologi nusantara.
Narasumber kali ini adalah Antika Widya Putri, atau lebih sering disapa Antik, menarasikan adanya perubahan standar kecantikan wanita Indonesia selama dan setelah kolonial. Pada masa kolonial, kecantikan didominasi oleh standar Barat, seperti tubuh langsing, rambut lurus, hidung mancung, dan kulit putih. Standar inilah yang mempengaruhi persepsi masyarakat bahkan hingga saat ini. Wanita Nusantara berbondong-bondong memenuhi standar kecantikan tersebut. Hingga tidak jarang mengakibatkan rasisme saat standar kecantikan tidak terpenuhi.
Feminisme poskolonial berupaya menghapus subalternitas perempuan Timur dengan mengakui keberagaman kecantikan, membangun pengetahuan inklusif, dan menolak dominasi hegemoni Barat. Tujuannya adalah agar perempuan Timur dapat mengendalikan identitas dan kecantikan mereka sendiri. Masyarakat Nusantara perlu membangun pengetahuan, memberi pengakuan dan penghargaan atas keberagaman kecantikan di berbagai budaya.
Kecantikan perempuan tidak harus berfokus pada bentuk fisik, tapi juga terletak pada kepribadian, kecerdasan, dan upaya menjadi diri sendiri.
“Jika bisa beragam, mengapa harus seragam?”