Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) melangsungkanĀ Knowledge Sharing and Discussion mengenai Educational Migration in Nusantara: Eastern Indonesia Student in Java pada tanggal 28 Oktober 2017. Narasumber pada diskusi kali ini adalah Chris Foertsch, M.A., seorang penerima Fullbright Research Fellowship dari US State Department yang akan melanjutkan studi doktoral di University of Victoria, Canada, di tahun 2018. Foertsch juga merupakan guest lecturer di Universitas Kanjuruhan Malang. Dalam knowledge sharing and discussion tersebut, Foertsch memaparkan penelitiannya di bidang antropologi mengenai migrasi anak muda yang berasal dari Indonesia Timur (Nusa Tenggara, Maluku Utara, Maluku Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Papua) ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Penelitian kualitatif ini menggunakan wawancara semi-terstruktur dan observasi partisipan untuk mendapatkan data, serta snowballing technique untuk mendapatkan partisipan penelitian. Meskipun lokasi penelitian utama adalah di Jawa, Foertsch juga mengunjungi kampung halaman partisipan penelitiannya di berbagai daerah di Indonesia Timur.
Knowledge Sharing and Discussion mengenai Educational Migration in Nusantara: Eastern Indonesia Student in Java dilaksanakan di Gedung D-606 Fakultas Psikologi UGM pukul 09.00-11.00 WIB dengan moderator Safura Intan Herlusia. Acara ini dihadiri oleh sekitar dua belas peserta dengan latar belakang beragam, baik mahasiswa S1 sampaiĀ dengan mahasiswa S2. Di tengah diskusi, terjadi pemadaman listrik di seluruh Gedung D, sehingga presentasi yang dilakukan Foertsch kemudian tidak menggunakan power point slides. Hal ini merupakan suatu kerugian, mengingat Foertsch memiliki banyak foto yang akan ditampilkan. Meskipun demikian, diskusi yang dilakukan berjalan dengan baik. Para peserta melontarkan berbagai macam pertanyaan tentang budaya migrasi dan kontak budaya yang terjadi di daerah tujuan akibat migrasi tersebut. Selain memaparkan penelitiannya, Foerstch juga mengungkapkan mengenai pengalamannya dengan multikulturalisme di Indonesia. Dari pengalaman tersebut, Foetrsch kemudian merefleksikan dengan kondisi multikultural di negaranya sendiri, Amerika Serikat. Meskipun Foerstch melihat rasa saling menghormati dan toleransi antaretnis di Indonesia belum secara sempurna terlaksana, Foerstch pun mengakui bahwa di Amerika Serikat hal tersebut pun masih terus diupayakan, terutama dengan kondisi sosial politik negara tersebut pada saat ini.